Langit senja mulai merona jingga ketika Fajar duduk di teras rumahnya, menatap kosong ke halaman depan. Ujian kelulusan SMA baru saja berakhir, dan kini ia dihadapkan pada pertanyaan besar yang terus menggelayut di pikirannya: apakah ia harus melanjutkan kuliah atau langsung bekerja?
Sejak kecil, Fajar selalu bercita-cita untuk menjadi seorang arsitek. Ia membayangkan dirinya merancang gedung-gedung pencakar langit dan bangunan indah yang akan dikenang sepanjang masa. Namun, realita hidup tidak selalu sesuai dengan impian. Keuangan keluarganya sedang dalam kondisi sulit setelah ayahnya terkena PHK. Ibunya hanya bekerja sebagai penjahit rumahan dengan penghasilan yang tidak seberapa. Sebagai anak sulung, Fajar merasa bertanggung jawab untuk membantu keluarganya.
Temannya, Reza, sudah memutuskan untuk langsung bekerja di sebuah bengkel mobil setelah lulus. “Menurutku, lebih baik cari pengalaman dulu, Jar. Kita bisa dapat uang dan mulai mandiri,” kata Reza ketika mereka berbincang di warung kopi. Fajar mengangguk pelan, memahami sudut pandang sahabatnya. Dengan bekerja, ia bisa segera membantu keuangan keluarganya dan mungkin menabung untuk masa depan.
Namun, di sisi lain, ada kakaknya, Rina, yang terus mendorongnya untuk kuliah. “Kamu punya bakat di bidang desain, Jar. Jangan sia-siakan itu. Aku yakin kalau kamu kuliah, masa depanmu akan lebih cerah.” Rina sendiri adalah mahasiswa tingkat akhir di sebuah universitas negeri dengan beasiswa. Ia meyakinkan Fajar bahwa peluang beasiswa juga ada untuknya jika ia berusaha keras.
Fajar pun mulai mencari informasi lebih lanjut. Ia mendatangi berbagai seminar beasiswa, bertanya kepada guru-gurunya, dan bahkan berdiskusi dengan alumni yang telah berhasil mendapatkan bantuan pendidikan. Setiap kali ia membaca kisah sukses orang-orang yang berhasil meraih cita-citanya melalui pendidikan, semangatnya semakin membara. Namun, di sisi lain, ia juga mulai mencari pekerjaan sampingan, berharap bisa mendapatkan pengalaman kerja yang berharga.
Pikiran Fajar semakin berkecamuk. Jika ia memilih bekerja, ia bisa segera membantu keluarganya, tetapi mungkin kesempatan untuk berkembang dalam bidang impiannya akan hilang. Jika ia memilih kuliah, ia akan mengembangkan kemampuannya dan mungkin mendapatkan pekerjaan yang lebih baik di masa depan, tetapi keluarganya harus berjuang lebih keras untuk menopang hidup.
Malam itu, Fajar duduk bersama ayah dan ibunya. Ia mengutarakan kebimbangannya. Ayahnya, meski terlihat lelah, tetap tersenyum dan berkata, “Apapun pilihanmu, jangan lakukan karena terpaksa. Pikirkan baik-baik, dan kami akan mendukungmu sebisa mungkin.”
Setelah merenung semalaman, akhirnya Fajar mengambil keputusan. Ia akan mencari pekerjaan paruh waktu dan tetap mendaftar kuliah dengan beasiswa. Dengan begitu, ia tetap bisa membantu keluarganya sekaligus mengejar mimpinya.
Hari demi hari berlalu, dan perjuangan Fajar tidaklah mudah. Ia harus bekerja di sebuah kedai kopi hingga larut malam dan bangun pagi untuk menghadiri kuliah. Ia sering merasa kelelahan, kurang tidur, dan kadang hampir menyerah ketika tugas kuliah menumpuk sementara pekerjaannya menuntut tenaga ekstra. Namun, di tengah semua itu, ia juga merasakan kebahagiaan kecil: pelanggan tetap yang mulai mengenalnya, rekan kerja yang menjadi sahabat, serta dosen yang mendukungnya dan memberinya motivasi.
Di fakultasnya sendiri, Fajar juga menghadapi berbagai tantangan. Persaingan antar mahasiswa sangat ketat, terutama dalam proyek desain. Beberapa teman sekelasnya berasal dari keluarga berada yang memiliki akses ke perangkat lunak dan bahan berkualitas tinggi, sementara Fajar harus puas dengan peralatan seadanya. Tak jarang, ia merasa minder dan berpikir bahwa ia tidak cukup baik.
Suatu hari, Fajar mengalami kejadian pahit saat proyek desainnya ditolak oleh dosen pembimbing. “Konsepmu masih terlalu mentah, kamu harus lebih banyak riset!” kata dosennya dengan nada tegas. Fajar pulang dengan perasaan kecewa, tetapi ia tidak menyerah. Ia begadang selama beberapa malam untuk memperbaiki konsepnya, mencari referensi tambahan di perpustakaan, dan meminta masukan dari teman-temannya. Akhirnya, ketika ia mempresentasikan ulang proyeknya, dosennya mengangguk puas dan berkata, “Ini baru arsitek masa depan.”
Salah satu momen terberat adalah ketika ibunya jatuh sakit dan harus dirawat di rumah sakit. Fajar hampir menyerah dan berpikir untuk berhenti kuliah agar bisa bekerja penuh waktu. Namun, kakaknya dan teman-temannya memberinya dukungan, membantunya mencari solusi agar ia tetap bisa bertahan.
Di suatu hari yang cerah, Fajar menerima surat pengumuman dari universitas impiannya. Tangannya bergetar saat ia membuka amplop itu, dan matanya membelalak saat membaca kata-kata di dalamnya: “Selamat! Anda diterima sebagai penerima beasiswa penuh.” Air mata haru menggenang di matanya. Ia tahu, perjalanan masih panjang, tetapi setidaknya, satu langkah besar telah ia capai. Dengan semangat yang semakin berkobar, Fajar siap menjalani hari-hari berikutnya dengan keyakinan bahwa setiap usaha dan pengorbanan akan membuahkan hasil.